Seputar Batasan Aurat Pria dan Wanita
Soal:
Sejauh mana batasan aurat wanita di hadapan pria dan sebaliknya; termasuk di depan mahram, dan non-mahram?
Jawab:
Aurat bagi wanita di hadapan lelaki asing, yang bukan mahram-nya, adalah seluruh badannya. Ini diambil dari nash al-Quran yang menyatakan:
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Hendaknya wanita tidak menampakkan kecantikan (perhiasan)-nya kecuali yang boleh tampak dari dirinya (QS an-Nur [24]: 31).
Frasa “yang boleh tampak dari dirinya” adalah wajah dan kedua telapak tangan. Inilah batasan aurat di hadapan lelaki asing (bukan mahram). Namun, aurat wanita di hadapan lelaki yang merupakan kerabatnya, atau sesama kaum wanita, adalah saw’atani (dua kemaluan depan dan belakang), atau qubul (kemaluan depan) dan dubur (kemaluan belakang). Dalilnya adalah firman Allah SWT:
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلاَّلاَبَائِهِنَّ
Hendaknya wanita tidak menampakkan kecantikan (perhiasan)-nya kecuali kepada suami-suami mereka atau bapak-bapak mereka (QS an-Nur [24]: 31).
Kemudian Allah SWT berfirman:
أَوْ نِسَائِهِنَّ
…dan kepada kaum perempuan (sesama) mereka (QS an-Nur [24]: 31).
Kedua nas di atas menyatakan, seolah
tidak ada batasan aurat bagi wanita di hadapan kerabat dan sesama kaum
wanita. Namun, ada Hadis Nabi saw. yang menyatakan:
لاَيَنْظُرِالرَّجُلُإِلَى عَوْرَةِالرَّجُلِوَلاَ الْمَرْأَةُإِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ
Hendaknya laki-laki tidak melihat aurat laki-laki dan perempuan tidak melihat aurat sesama perempuan (HR Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Abu Said al-Khudri).
Jika hadis di atas digandengkan dengan
kedua ayat di atas, maka batasan tersebut mengarah pada kedua kemaluan,
depan dan belakang (saw’atani). Ini dikuatkan dengan hadis lain saat Nabi saw. mengajukan pertanyaan istinkari (untuk mengingkari) kepada pemuda yang hendak memasuki rumah ibunya tanpa izin:
أَتُحِبُّأَنْ تَدْخُلَ عَلَى أُمِّكَ وَهِيَ عِرْيَانَةً
Maukah kamu memasuki rumah ibumu, sementara dia dalam keadaan telanjang? (HR Abu Dawud).
Pertanyaan Nabi saw. ini tidak
membutuhkan jawaban ini karena jawabannya sudah jelas, “Tidak.” Ini
sebenarnya bukan merupakan alasan atas kewajiban meminta izin (‘illat isti’dzan),
tetapi hanya menjelaskan peristiwa (momentum) tertentu. Jika tidak maka
ayat di atas bisa dijadikan dasar, bahwa tidak ada batasan aurat bagi
wanita, baik di hadapan kerabat maupun sesama wanita; kecuali apa yang
ditunjukkan oleh hadits, yaitu saw’atani (dua kemaluan, depan dan belakang). Karena itu aurat wanita di hadapan lelaki mahram dan sesama wanita, sebagaimana yang dinyatakan di dalam ayat-ayat di atas, tak lain adalah saw’atani.
Ini merupakan qawl qadim Hizb, sebagaimana yang dinyatakan dalam Nasyrah Soal-Jawab tanggal 8/5/1970, juga Nasyrah Soal-Jawab tanggal 12/9/1973. Namun, batasan tentang aurat wanita di hadapan lelaki mahram dan sesama wanita adalah saw’atani ini ditinggalkan oleh Hizb.
Dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i, edisi Muktamadah, cet. IV, tahun 2003, dinyatakan sebagai berikut:
Boleh laki-laki melihat wanita mahram-nya,
baik Muslimah maupun bukan, lebih dari wajah dan kedua telapak tangan,
yaitu semua anggota badan yang merupakan tempat perhiasan (mahallu zinah),
tanpa dibatasi anggota badan tertentu. Ini karena adanya nas yang
menyatakan tentang itu juga karena kemutlakan nash ini. Allah SWT
berfirman (yang artinya): Janganlah para wanita menampakkan
perhiasannya, kecuali suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki
mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau perempuan
(sesama Muslim) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para
pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan kepada perempuan,
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan (TQS an-Nur [24]: 31).
Mereka semuanya itu boleh melihat perempuan mahram-nya,
baik rambut, leher, tempat gelang tangan, tempat gelang kaki, tempat
kalung di leher, dan anggota badan lain, yang memang layak disebut
tempat hiasan. Ini karena Allah SWT. Menyatakan (yang artinya): Hendaknya mereka tidak menampakkan kecantikannya…
(TQS an-Nur [24]: 31), yaitu tempat perhiasan mereka; kecuali kepada
orang-orang yang telah disebutkan oleh al-Quran, mereka boleh melihat
apa yang ditampakkan oleh pakaian kerja, yaitu pakaian yang dipakai saat
bekerja.
Penjelasan di atas membatasi aurat perempuan di hadapan mahram dan sesama wanita adalah mahallu zinah, sementara batasan saw’atani (kemaluan
depan dan belakang) di atas lebih longgar, termasuk buah dada, perut,
pusar, dan anggota tubuh wanita lain yang tidak lazim disebut zinah, tetapi bukan saw’atani (kemaluan depan dan belakang). Dengan demikian, mahallu zinah ini menjadi pembatas aurat wanita yang boleh dilihat oleh laki-laki mahram dan sesama wanita, sebagaimana yang ditegaskan di dalam QS an-Nur [24]: 31 di atas.
Mengenai perbedaan pandangan tentang
aurat, sebenarnya tidak ada masalah. Sebab, ada perbedaan yang besar
terhadap sesuatu yang lebih krusial dibandingkan dengan soal aurat,
namun tidak ada masalah. Perbedaan ini wajar mengingat banyaknya hadis
yang menjelaskan masalah ini. Mengkompromikan berbagai hadis ini
membutuhkan kemampuan berijtihad. Uraian lebih jauh tentang ragam
pendapat dalam hal ini bisa dilihat dalam kitab Nayl al-Awthar yang ditulis oleh Al-Hafizh asy-Syaukani.
Tentang aurat pria yang diadopsi oleh
Hizb—yakni antara pusar dan lutut—telah ditunjukkan oleh sejumlah
hadis, yang bersumber dari ‘Ali bin Abi Thalib ra. yang mengatakan bahwa
Nabi saw. pernah bersabda:
لاَ تُبْرِزُ فَخِذَكَ وَلاَ تَنْظُرُإِلَى فَخِذِ حَيٍّ وَلاَ مَيِّتٍ
Janganlah kamu menampakkan pahamu dan jangan pula kamu melihat paha orang yang masih hidup maupun telah mati (HR Abu Dawud dan Ibn Majjah).
Muhammad bin Jahsy berkata, Rasulullah
saw. pernah berjalan berpapasan dengan Ma’mar, sementara kedua pahanya
terbuka. Lalu Nabi saw. bersabda:
ياَ مَعْمَرُ غَطِّ فَخِذَيْكَ فَإِنَّ الْفَخِذَيْنِ عَوْرَةٌ
Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu karena kedua paha itu adalah aurat (HR Ahmad dan al-Bukhari).
Ini membuktikan, bahwa kedua paha adalah
aurat. Memang, ada beberapa hadis yang menyatakan bahwa Nabi saw. telah
menyingkap kedua pahanya. Namun, hadis tersebut bertentangan dengan
sejumlah hadis yang menyatakan, bahwa kedua paha adalah aurat. Semuanya
ini adalah hadis sahih. Hadis-hadis ini dituturkan oleh ‘Aisyah ra.:
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَمُضْطَجِعًا فِيْ بَيْتِي كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ
Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah tidur miring di rumahku, sementara kedua pahanya tersingkap (HR Muslim).
Anas bin Malik ra. berkata:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَر حَسَرَ الازَارَ عَنْ فَخِذِهِ
Sesungguhnya Nabi saw. pada saat Perang Khaibar telah menyingkap sarung dari pahanya (HR Ahmad dan al-Bukhari).
Dengan begitu terjadi kontradiksi antara kedua hadis ini.
Berbagai hadis yang menyatakan paha
adalah aurat merupakan perkataan Nabi. Adapun hadis-hadis yang
menyatakan bahwa Nabi saw. menyingkap pahanya merupakan perbuatan
beliau. Jika perbuatan dengan perkataan Nabi saw. berbenturan, maka bisa
disimpulkan, bahwa perbuatan tersebut khusus untuk Nabi saw., sementara
perkataannya berlaku umum bagi umatnya. Karena itu, hadis yang
menyatakan bahwa Nabi saw. menyingkap pahanya tidak bisa digunakan
sebagai hujjah, karena merupakan kekhususan bagi beliau.
Buktinya, Nabi saw. telah menyatakan, bahwa paha adalah aurat bagi kaum
Muslim. Dengan demikian, aurat laki-laki adalah bagian tubuh dari pusar
dan lutut.
Adapun larangan pria melihat aurat sesama pria dan wanita melihat aurat sesama wanita adalah aurat mughalladhah (aurat besar), yaitu saw’atan (dua kemaluan: depan dan belakang), yaitu qubul (kemaluan depan) dan dubur (kemaluan belakang); bukan aurat secara mutlak. Khusus bagi mahram, maka dalam kondisi tertentu dibolehkan melihat aurat mughalladhah,
seperti saat anak memandikan jenazah ayah atau ibunya; ayah membuka
pakaian anak perempuannya untuk mengajari mandi dan bersuci, termasuk istinja’ (bersuci dengan menggunakan batu, ketika tidak ada air).
Inilah hukum syariah tentang aurat pria
dan wanita secara umum dan batasannya. Di luar itu, sebenarnya ada
masalah yang tak kalah penting ketimbang hukum aurat itu sendiri, yaitu
masalah adab. Meski ada batasan yang tegas tentang aurat, dan dibolehkan
aurat itu terbuka, meski sendirian, Nabi saw. tetap mengingatkan:
فَاللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ
Hendaknya dia lebih layak malu kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala (HR Khamsah, kecuali an-Nasa’i).
Dengan demikian suami-istri boleh saja
saling melihat auratnya dan bertelanjang bulat ketika berhubungan badan,
tetapi Nabi saw. mengingatkan, agar tidak dilakukan, karena malaikat
malu kepada mereka. Begitu juga ketika di kamar mandi, boleh saja mandi
bertelanjang, tetapi harus diingat, bahwa ada Allah Maha Melihat
sehingga dia mestinya lebih malu kepada Allah SWT ketimbang kepada yang
lain.
Inilah yang justru sering dilupakan:
orang hanya bicara soal hukum, tetapi mengabaikan adab dan akhlak yang
menyertai hukum tersebut.
WalLahu a’lam. [Diasuh oleh: KH. Hafidz Abdurrahman]