Di Mana Saja Anda Berada, Takwalah !
Satu hal yang sering luput dari perhatian kita sebagai seorang muslim
adalah bahwa setiap diri kita akan senantiasa diawasi dan dicatat
amal-amalnya apakah baik atau buruk oleh malaikat Raqib dan ‘Atid.
Semuanya pasti tahu, ini bukanlah pengetahuan baru, bukan pula ilmu
baru bagi kita, namun marilah sedikit meluangkan waktu untuk kembali
menyadari dan mulai menginternalisasikan pada diri akan kesadaran
tentang hal ini.
Kita sering lupa bahkan kebablasan dalam berperilaku di pergaulan
sehari-hari, entah itu di masyarakat, tempat kerja, di sekolah,
kuliahan, saat berbisnis, dll, kita sering mereduksi keberadaan Allah
Swt yang maha mengawasi kita, dan para malaikat yang selalu mencatat
setiap amalan-amalan kita, dengan “gagah berani” dan cukup percaya diri
kita kadang melakukan berbagai pelanggaran hukum syara’ hanya karena
kita jauh dari lingkungan Islami, lingkungan dakwah dan aktifitasnya,
jauh dari rekan-rekan seperjuangan, kita merasa tidak diawasi oleh orang
tua, ustadz, oleh musyrif, atau yang lainnya yang kita anggap menjadi panutan sehingga kita “takut” jika perbuatan maksiyat tsb ketahuan olehnya.
Taat Jika Ada yang Lihat
Saat bulan Ramadhan yang lalu kita begitu terasah dengan sikap muroqobah
(senantiasa merasa diawasi oleh Allah swt dalam setiap aktifitas kita).
Dalam kesempatan ceramah di bulan Ramadhan penulis sering bertanya
kepada audiens “Beranikah hadirin sekalian untuk berbuka, makan-minum di
siang hari yang dilakukan di kamar dengan pintu terkunci dari dalam dan
dijamin tidak ada seorangpun yang mengetahui tentang apa yang kita
lakukan, setelah kita makan-minum sepuasnya kita bersihkan mulut kita
dan keluar dengan berpura-pula lemas sebagaimana orang yang shaum pada
umumnya, saya jamin tidak ada orang yang tahu. Apakah hadirin berani
melakukannya?” Dengan spontan dan mantap mereka menjawab “Tidaak!”
kenapa? Karena satu alasan saja yakni kita merasa dilihat oleh Allah
Swt, saat itu betapa kita mampu menghadirkan rasa takut yang luar biasa
akan adanya pengawasan Allah Swt dan malaikat-Nya saat dihadapkan pada
perbuatan maksiyat yang hendak kita kerjakan.
Tapi sangat disayangkan, bagi sebagian orang rasa takut itu justru
hanya muncul di saat bulan Ramadhan dan hanya untuk satu perkara saja
yakni takut berbuka shaum di siang hari tanpa ada udzur syar’i ,
sementara untuk ibadah dan muamalah lain yang dilakukan di bulan-bulan
lainnya rasa takut itu tidak muncul. Taat jika ada yang melihat telah
bergeser pada pemaknaan bahwa seseorang akan taat jika ada manusia yang
melihat bukan karena ada Allah yang melihat.
Sebagai contoh, betapa banyak politisi muslim yang begitu semangat
mengobarkan api permusuhan pada perjuangan penegakkan Syariah dan
Khilafah Islam, padahal perkara ini adalah persoalan ma’lumun minad diini bidh dhoruroh
(yang tidak-bisa-tidak pasti diketahui oleh semua orang tentang
kewajibannya), pejabat yang korupsi dan memakan suap, penguasa sekular
yang rajin menipu dan mendzolimi rakyat, fungsionaris partai Islam yang
latah mengucapkan selamat hari raya agama lain demi mendongkrak
konstituen menjelang pemilu dan agar dinilai pluralis serta toleran.
Pertanyaannya dimanakah rasa takut mereka semua saat melakukan
tindakan-tindakan tsb? Bukankah sebagiannya adalah yang mengerti dan
sangat paham tentang Islam?
Sementara dilain pihak betapa banyak kaum muslim yang bisnis dan
muamalahnya bergelimang riba, uang yang diperolehnya dari hasil
“menyikut” orang lain, menipu, dan memanipulasi, tapi semuanya tetap
bergeming, cuek saja, no hard feeling tidak
punya perasaan apa-apa. Betapa banyak kaum muslim yang tidak menggigil
ketakutan dengan dosa investasi yang harus ditanggungnya dari jutaan
orang yang berbuat maksiyat—hatta dari kemaksiyatan yang dilakukan oleh
orang yang tak pernah dikenalnya sekalipun—yang hingga hari ini tidak
bisa dihukum berdasarkan syariah Islam karena ketiadaan Khilafah sebagai
institusi pemegang sholahiyah (kewenangan) untuk menghukuminya, betapa banyak remaja muslim yang cuek bebek
dengan pergaulannya yang liberal dan amburadul sampai (jangan lupa)
betapa banyak para aktivis pengemban dakwah Islam yang pekerjaannya
sampai “lupa ingatan” dan “lupa daratan”.
“Lupa ingatan” dalam arti bahwa sesungguhnya dia adalah pengemban dakwah yang di pundaknya tengah dipikul tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar
tapi sering lalai, “lupa daratan” maksudnya bahwa dia telah kebablasan
dengan kehidupan untuk mengejar dunianya sehingga dakwah tidak lagi
menjadi poros dalam hidupnya, sehingga misi perubahan masyarakat dengan
Islam menjadi telantar. Atas semua hal itu, maka lagi-lagi muncul
pertanyaan, ainallah? dimana Allah (buat mereka)? Dimana Allah ketika kita “asyik” dengan perbuatan-perbuatan lalai dan maksiyat tsb?
Bertakwa Dimana Saja Berada
Sebagai bahan kontemplasi tentang apa yang telah diulas, sesungguhnya Rasulullah Saw telah mengingatkan kita dengan sabdanya:
“Bertakwalah kepada Allah dimana saja berada, apabila melakukan
keburukan ikutilah segera dengan kebaikan niscaya kebaikan itu akan
menghapuskan keburukan dan bergaulah dengan manusia dengan pergaulan
akhlak yang baik” (HR. Abu Dawud)
Yang menjadi poin pembahasan disini adalah “Ittaqillaaha haitsumaa kunta.. bertakwalah kepada Allah dimana saja berada…
Apa itu takwa? Menurut para ulama inti dari takwa itu ada tiga:
- Al khouf minal Jalil (takut kepada Allah zat yang maha gagah perkasa)
- Wal ‘amalu bi tandziil (mengamalkan wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt, mengamalkan aturan Islam, mengamalkan Syariat Islam)
- 3. Wal ‘isti’daadubirrohiil (mempersiapkan diri untuk perjalanan menghadapi hisab dari Allah Swt)
“Bertakwalah kepada Allah dimana saja berada..” Memiliki makna bahwa
kita harus takut kepada Allah, senantiasa taat kepada syariat-Nya, dan
senantiasa mempersiapkan diri menghadapi hisab dari Allah haitsumaa kunta
(dimana saja kita berada) baik ketika kita sedang di rumah, di angkot,
sedang di kantor/tempat kerja, di kampus, sedang belajar, sedang di
pasar, sedang ngobrol, saat di jalanan, sedang berbisnis, bahkan sedang
di ruangan pengadilan-pun kita harus senantiasa bertakwa kepada Allah,
harus takut kepada Allah, dan harus menerapkan aturan-aturan Allah Swt.
Jelaslah bahwa dalam setiap detik nafas kehidupan kita, kehadiran dan
pengawasan Allah Swt wajib diyakini dan disadari oleh kita, sebab hanya
dengan cara itulah rasa takut itu akan muncul, rasa takut yang akan
menjadi hijab/penghalang atas segala kemaksiyatan yang berpotensi kita
kerjakan di depan mata kita. Dengan demikian, kita berharap dengan hal
tsb, Allah Swt akan mengangkat kita menjadi orang yang paling mulia di
sisi-Nya. Wallahu Alam..
*Penulis, Penggiat Perubahan Berbasis Islamic Ideology, Penulis Buku “A Big Change”
Sumber: eramuslim.com (18/1/2014)